Dulu, saat mengalami masa kejayaannya, hubungan timnas
Indonesia dengan Belanda tidak sebersahabat seperti saat ini. Soekarno
sering mengutarakan retorika yang menguatkan kebencian kepada Belanda.
Terkadang sepakbola menjadi pelampiasan kebencian itu. Jika tahu hanya gara-gara urusan
jersey saja timnas mengalah kepada Belanda, Soekarno mungkin akan marah betul. Wajar saja, kala itu stereotype bangsa yang pandir dan
inlander goblok ingin berusaha dikikis oleh Soekarno melalui sepakbola.
"Kau
Gareng, lawan si Belanda itu. Dan Tunjukkan bahwa bangsa Indonesia itu
bangsa yang besar. Tunjukkan bahwa kita bukan bangsa tempe!" cetus Bung
Karno dengan memakai celana piyama biru, kaos oblong dan tanpa kopiah
kepada kapten timnas, Soetjipto 'Gareng' Soentoro, di Istana Negara,
pada suatu hari di tahun 1965.
Ucapan Bung Karno itu ditanggapi
semua pemain dengan manggut-manggut. "Bayangkan Bung, para pejuang
kemerdekaan itu berjuang mempertaruhkan darah dan nyawa, kita cuma
keringat dan air mata," ucap Gareng kepada teman-temannya menanggapi
kata-kata Soekarno [dari buku Cardiyan HS. berjudul
'Gareng Menggiring Bola'.]
Adegan
di atas terjadi saat seluruh anggota timnas diajak Maulwi Saelan
menemui Bung Karno sesaat sebelum mereka terbang ke Eropa. Kepergian
mereka guna lawatan ujicoba melawan tim-tim kuat Eropa sebagai persiapan
menghadapai Ganefo dan Asian Games tahun 1966.
Selama
berbulan-bulan, timnas berkeliling ke berbagai negara Eropa. Negeri yang
pertama dikunjungi adalah bekas penjajah kita yaitu Belanda. Hari Rabu 9
Juni 1965, timnas harus berjibaku dengan juara Liga Belanda musim
kompetisi 1964/1965, Feyenoord.
Saat menghadapi Indonesia,
Feyenoord tahu betul siapa lawan yang mereka hadapi. Malu rasanya kalah
dari negeri bekas jajahan. Karenanya tak tanggung-tanggung, Feyenoord
menurunkan semua pemain intinya. Sayangnya, Belanda tetap sombong.
Dipimpin oleh sang kapten Guus Haak -- meluruskan informasi yang banyak
beredar kalau saat itu kaptennya adalah Guus Hiddink --, Feyenoord tak
bermain serius di awal babak pertama.
Intruksi Bung Karno untuk
menghajar Belanda dilakukan betul oleh para pemain kita. Para pemain
bermain kesetanan. Baru dua menit pertandingan berjalan 'Si Gareng'
berhasil mencetak gol cantik dengan melewati tiga bek Feyenoord
sekaligus. Londo itu terkaget. Tak ayal Indonesia pun digempur
habis-habisan di babak pertama. Performa ciamik Yudo Hadianto yang
mengawal gawang timnas berhasil membuat sor 1-0 dapat dipertahankan
hingga akhir babak pertama.
Sayangnya, di babak dua Indonesia dijahili habis-habisan oleh wasit. Dua gol penalti di awal babak kedua membuat mereka
down.
Tak ayal, dalam waktu beberapa menit, Yudo terpaksa memungut bola di
gawangnya sebanyak empat kali. Alhasil selama 90 menit waktu berjalan,
timnas kebobolan 6 gol, yang membuat pertandingan berkesudahan 6-1 bagi
Londo-londo itu. (Majalah
Aneka edisi Juli 1965)
Tak
terima, kekalahan ini bagi Gareng lebih disebabkan faktor wasit yang
berat sebelah akibat adanya tekanan unsur politis. Dua hukuman penalti
bagi Indonesia adalah buktinya. "Dua kali pelanggaran tak berbahaya, dua
kali dihukum penalti. Ini kemenangan politik yang dipaksakan,"
keluhnya.
Unsur politik memang terasa betul di pertandingan
tersebut. Konflik antara pemerintah Belanda dan Indonesia merembet
hingga sepakbola. Belum lepas ingatan orang akan perebutan Irian Barat.
Tahun 1960-1963, saat itu dua negara harus rebutan pemain sepakbola
yaitu pemain Irian Barat yang bernama Dominggus.
Dominggus mampu
mencuri hati publik sepakbola Belanda. Saat melawan Feyenoord, decak
kagum penonton diberikan kepada pemain yang berposisi sebagai
winger
ini. Akan tetapi, kekalutan tim terjadi sesudah laga itu. Dominggus tak
pulang ke hotel, banyak orang menyangka dia diculik. Intelejen pun
mulai dipekerjakan untuk mencari Dominggus.
Pencarian Dominggus
diserahkan kepada kedutaan besar, karena tim harus bertolak ke Jerman
Barat, Dominggus pun ditinggal. "Ia sekamar dengan saya waktu di
Belanda. Dia pergi malam-malam dan tak pernah kembali. Tasnya pun
ditinggal di hotel," kata Max Timisela rekan satu tim Dominggus, dalam
interview dengan
Pandit Football beberapa waktu lalu.
Beberapa
hari kemudian, berita mengejutkan datang kepada tim yang ada di Bremen.
Dominggus dinyatakan membelot, menolak pulang ke Indonesia. Dia
ditawari oleh pelatihnya yang orang Belanda untuk tinggal dan menjadi
warga negara Belanda. Diiming-imingi oleh janji setinggi langit dari
pemerintah Belanda, Dominggus memilih melupakan Indonesia.
Kejadian
ini membuat kekesalan terjadi di Jakarta. Demonstrasi besar-besaran
terjadi kepada pemerintah Belanda akibat aksinya yang membuat Dominggus
membelot. Belum lama luka atas Irian Barat, Belanda kembali menuai
genderang perang melalui sepakbola. Soekarno pun geram dan melayangkan
surat protes, mengecam kerajaan Belanda. Tapi respons yang didapat ya
begitu saja: Belanda hanya mangut-mangut. Masuk telinga kanan, keluar
telinga kiri.
Saat bertemu Gareng di tahun 1978, Dominggus
ternyata tak jadi pesepakbola ternama. Ia hanya diperkerjakan sebagai
buruh di perusahaan Phillips. Tapi beruntung nian dia. Dominggus
mendapatkan istri wanita Belanda. Kala itu dia sudah memiliki tiga anak.
Kepada Gareng ia pun bangga dengan keputusannya kala itu. Gara-gara
Belanda, pemain sayap ini enggan balik lagi ke tanah leluhurnya.
Soekarno
tahu betul bahwa suatu bangsa bisa naik harkat derajatnya dengan
olahraga. Karenanya ia menanamkan paham betul-betul itu di dalam dada
semua pemain,yaitu semangat kebangsaan. Ia tegaskan bahwa berjuang lewat
olahraga adalah suatu hal yang tak kalah hebatnya dengan berjuang
menenteng senjata. Karenanya ia kesal melihat tingkah Belanda yang
belagu kala itu.
"Bahwa kami bukanlah lagi penduduk kelas kambing
yang berjalan menyuruk-nyuruk dengan memakai sarung dan ikat-kepala,
merangkak-rangkak seperti yang dikehendaki oleh majikan-majikan kolonial
di masa yang silam," katanya.
Semangatnya itu membuat para
pemain tampil habis-habisan di setiap laganya. Tak hanya saat di
Belanda. Di Jerman, Yugoslavia dan Cekoslovakia pun timnas tampil cukup
memuaskan. Selain pengalaman, fisik dan ilmu yang didapat. Pemain pun
berhasil mengenalkan Indonesia ke masyarakat Eropa melalui "sepakbola".
Semangat mau berkorban, mau berjuang dan mau bersabar tak bisa
dibebankan kepada pemain saja. Seluruh elemen baik itu penguasa yang
berkuasa, pengurus PSSI, bahkan suporter sendiri harus memiliki etos
tersebut.
Apakah hasil yang didapat setelah pulang dari Eropa
zaman itu? Hasilnya cukup lumayan. Selama kurun beberapa tahun Indonesia
kembali disegani di Asia. Tercatat Indonesia menjadi semifinalis Asian
Games 1966, Juara Aga Khan Goldcup 1966 dan 1968, Juara Merdeka Games
1969 dan Juara Kings Cup 1968. Di masanya kejuaraan-kejuaraan itu adalah
turnamen bergengsi yang selalu diikuti negara-negara kuat Asia.
Sekarang?